Skip to content

Realisasi PLTS 100 GW: Kerjasama Tiongkok Dorong Percepatan, Kuota Atap PLN Capai Ribuan MW Hingga 2028

Indonesia sedang melangkah kencang menuju target ambisius Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 GW pada 2030, sebagai bagian dari komitmen Net Zero Emission (NZE) 2060. Dengan potensi sinar matahari mencapai 3.294 GWp menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PLTS bukan lagi mimpi, tapi realitas yang mulai terwujud melalui kerjasama internasional dan kebijakan domestik. Baru-baru ini, kunjungan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ke Trina Solar di Tiongkok pada 14 Agustus 2025 menandai tonggak penting. Sementara itu, kuota PLTS Atap dari PT PLN (Persero) yang baru dirilis menjanjikan ekspansi masif hingga 2028. Apa saja yang membuat inisiatif ini begitu krusial? Mari kita ulas secara mendalam.

Kerjasama dengan Tiongkok: Fondasi Rantai Pasok Lokal

Tiongkok, sebagai pemimpin global dalam produksi panel surya (menguasai 80% pasar dunia menurut IRENA 2024), menjadi mitra strategis bagi Indonesia. Kunjungan Menteri Bahlil ke fasilitas Trina Solar di Changzhou menyoroti komitmen bersama untuk merealisasikan PLTS 100 GW. Fokus utama adalah pembangunan pabrik modul surya di kawasan industri Kendal, Jawa Tengah, melalui joint venture PT Trina Solar Modules Indonesia (TMAI). Proyek ini direncanakan menghasilkan 1-3 GWp per tahun, dengan investasi awal mencapai miliaran dolar AS.

Apa yang membuat kerjasama ini fresh dan inovatif? Bukan sekadar impor panel, tapi transfer teknologi untuk rantai pasok lokal. Indonesia akan memproduksi sel surya, inverter, dan baterai di dalam negeri, mengurangi ketergantungan impor yang selama ini mencapai 90%. Ini sejalan dengan program Making Indonesia 4.0 dan integrasi dengan agenda pemerintahan Prabowo-Gibran, yang menargetkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025 sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. Hasilnya? Biaya PLTS bisa turun hingga 20-30% dalam 2-3 tahun ke depan, membuatnya lebih terjangkau bagi investor swasta dan BUMN.

Contoh nyata: PLTS Cirata di Purwakarta, yang sudah beroperasi sejak 2023 dengan 145 MWp, kini menjadi blueprint untuk proyek skala GW. Dengan dukungan Tiongkok, kita bisa replikasi model ini di 10 lokasi prioritas, seperti Sulawesi dan Papua, yang potensinya mencapai 500 GWp.

Kuota PLTS Atap Terbaru: Aksesibilitas untuk Masyarakat

Sementara PLTS besar bergantung pada investasi global, PLTS Atap menjadi pintu masuk bagi rumah tangga dan UMKM. Keputusan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM No. 279.K/2024 menetapkan kuota nasional PLTS Atap PLN untuk 2024-2028, dengan total mencapai 1.539 MW pada akhir periode. Ini lonjakan signifikan dari kuota sebelumnya (hanya 600 MW hingga 2023), dibagi per wilayah: Jawa, Madura, dan Bali (Jateng-Jatim) mendapat alokasi terbesar 1.400 MW di 2028, diikuti Sumatera (100 MW) dan wilayah timur seperti Sulawesi dan Maluku (sisa kuota).

Update fresh ini menjawab kritik soal intermitensi surya—PLTS Atap kini wajib dilengkapi sistem penyimpanan baterai (BESS) minimal 20% kapasitas untuk stabilitas jaringan. PLN juga memperkenalkan skema net metering yang lebih sederhana: pemilik PLTS bisa menjual kelebihan listrik ke jaringan dengan tarif buyback Rp 1.000-1.200 per kWh, plus subsidi pemasangan hingga 50% untuk rumah tangga berpenghasilan rendah. Hingga September 2025, sudah ada 50.000 instalasi PLTS Atap terpasang, menghasilkan 200 MWp, dan target 2025 adalah 300 MWp tambahan.

Manfaatnya luar biasa: Selain menghemat tagihan listrik hingga 70% (rata-rata Rp 500.000/bulan untuk rumah 1 kWp), PLTS Atap mendukung dekarbonisasi. Bayangkan, jika 1 juta rumah tangga ikut, kita bisa kurangi emisi CO2 setara 1 juta ton per tahun—sama dengan menanam 50 juta pohon.

Tantangan dan Prospek ke Depan

Meski menjanjikan, realisasi PLTS 100 GW menghadapi hambatan seperti regulasi perizinan yang masih rumit dan kebutuhan lahan (minimal 10 hektar per MW). Kerjasama Tiongkok bisa atasi isu rantai pasok, tapi butuh insentif pajak lebih besar. IRENA memproyeksikan, dengan tren ini, Indonesia bisa capai 20 GW PLTS pada 2027, asal investasi mencapai USD 50 miliar.

Kesimpulannya, kerjasama dengan Tiongkok dan kuota PLTS Atap terbaru adalah katalisator utama untuk transisi energi hijau. Ini bukan hanya soal listrik, tapi kemandirian ekonomi dan lingkungan. Bagi Anda yang tertarik, mulai dari PLTS Atap rumah—hubungi PLN atau ESDM untuk simulasi biaya. Mari wujudkan Indonesia Berdikari dengan energi surya!

(Sumber: Kementerian ESDM (update Agustus 2025), IRENA Renewable Energy Statistics 2024, dan Keputusan Dirjen Ketenagalistrikan No. 279.K/2024. Data ini untuk edukasi; verifikasi dengan sumber resmi untuk akurasi terkini.)